Kementerian Perindustrian (Kemenperin) tengah menggenjot hilirisasi minyak atsiri domestik agar mengerek nilai tambah produk Indonesia ke pasar dunia. Pada tahun 2024, ekspor minyak atsiri Tanah Air mencapai US$259,54juta atau sekitar Rp4,2triliun—level tertinggi dalam lima tahun terakhir—menempatkan Indonesia sebagai eksportir minyak atsiri terbesar kedelapan dunia dengan porsi 4,12% pasar global.
Komoditi unggulan seperti minyak nilam (nilam) dan cengkeh telah menjadi tulang punggung industri parfum dan wellness dunia. Tepatnya, nilam menyumbang sekitar 54% dari total nilai ekspor pada tahun 2024 . Pasar utama Indonesia meliputi India, AS, Cina, Singapura, dan Prancis.
Meski menjanjikan, sektor ini masih menghadapi sejumlah tantangan: ketersediaan bahan baku yang berkelanjutan dan bersertifikasi, kurangnya diversifikasi produk hilir, keterbatasan akses pasar global dan pengolahan teknologi, serta perlunya peningkatan kompetensi sumber daya manusia.
Sebagai solusi strategi, pemerintah membentuk Pusat Flavor and Fragrance (PFF) di Bali dan Sumatera Barat untuk mendorong inovasi dan pengolahan hilir produk atsiri serta mengembangkan branding nasional di ajang seperti Aromatika Indofest 2025—dengan lebih dari 70 peserta termasuk pelaku industri, pembaca, dan kreator lokal.
Dengan total kapasitas produksi nasional mencapai 26.398 ton per tahun serta menyerap lebih dari 200 ribu pekerja, kebanyakan dari UMKM dan petani kecil, industri atsiri tidak hanya penggerak ekspor tetapi juga berdimensi sosial kuat melalui pemberdayaan masyarakat desa .
Melalui sinergi pemerintah, pelaku industri, pendidikan, dan komunitas, Indonesia siap mendobrak dominasi pasar global dengan produk minyak atsiri yang lebih bernilai, berkelanjutan, dan kompetitif.
0 Komentar